BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada hakikatnya tasawuf merupakan pengalaman pribadi seseorang
hamba dengan Tuhannya, sehingga masing-masing individu memiliki kecenderungan
dan pengalaman spiritual yang berbeda-beda sesuai dengan level tasawufnya. Oleh
karenanya, wajar apabila setiap ulama sufi dalam menjelaskan arti sufi atau
definisi tasawuf sesuai konteks pemikiran dan pengalaman keberagamaannya,
berdasarkan intuisi masing-masing individu berbeda satu dengan lainnya.
Telah banyak tokoh-tokoh
sufi yang telah kita ketahui salah satunya adalah Al-Qusayri. Di sini penulis
akan memberikan biografi singkat tokoh sufi Al-Qusayri, dengan bahasa yang
mudah difahami. Pada saat ini telah muncul anggapan-anggapan manusia tentang
sufi yang salah dalam mengartikan arti dari sufi itu sendiri, maka dari itu
disini penulis juga akan menjelaskan sedikit tentang pemikiran dari tokoh sufi
Al-Qusayri, supaya manusia tersebut mengetahui arti sebenarnya bagaimana
pemikiran tokoh sufi yaitu Al-Qusayri.
Upaya para sufi dalam mencapai kedekatan dengan Tuhannya telah
melahirkan aliran aliran pemikiran dalam tasawuf,yaitu : faham transendental
dan union mistisisme . Para sufi yang memahami bahwa antara hamba dengan Tuhannya
terdapat jarak pembatas,beranggapan bahwa untuk sampai pada kedekatannya
seseorang harus sanggup membersihkan jiwanya melalui latihan-latihan spiritual
dengan pendekatan syariat yang bersumber dari alqur'an dan sunnah nabi,aliran
ini pun berkembang dan kemudian melahirkan bentuk tasawuf amali atau akhlaqi
dan sering pula disebut dengan tasawuf suni atau tasawuf salafi , yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah yang pertama
yaitu tasawuf akhlaki termasuk salah satu tokohnya yaitu Al-Qusyairi.
Al-Qusayri adalah tokoh
sufi yang juga banyak sekali menghasilkan karya-karya yang bagus. Penulis akan
menjelaskan beberapa karya-karya yang dihasilkan oleh tokoh sufi Al-Qusayri,
yang sangat banyak. Dengan bertujuan supaya pembaca dapat mengetahui
karya-karya yang dihasilkan oleh tokoh sufi ini.
Untuk memperdalam pengetahuan tentang
al-Qusayri, penulis dalam makalah ini akan memaparkan beberapa pokok bahasan
yang diataranya :
Rumusan masalah :
1.
Bagaimana
biografi singkat tokoh sufi al-Qusayri?
2.
Bagaimana
pemikiran tokoh sufi al-Qusayri?
3.
Bagaimana
corak pemikiran tokoh sufi al-Qusayri?
4.
Apa
saja karya-karya yang dihasilkan oleh tokoh sufi al-Qusayri?
BAB II
PEMBAHASAN
1.1
Biografi singkat tokoh sufi Al-Qushayri
Nama lengkapnya
adalah Abd Al-karim bin Hawazin Al-Qushayri. Dia dilahirkan pada bulan Rabi’ul
awal tahun 376 H di Ustua[1],
dan wafat pada Bulan Rabi’ul Akhir 465 H. Beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya
telah wafat ketika usianya masih kecil.Kemudian pendidikannya diserahkan pada
Abul Qasim al-Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al-Qushayri.Pada
Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra. Abdul Karim bin Hawazin Al-Qushayri
memulai karir keilmuan dengan belajar kepada para ulama Nisapur, yang waktu itu
kota tersebut menjadi pusat keilmuan dan kebudayaan di kawasannya.
Pada suatu hari
Al-Qushayri bertemu dengan Abu ali al-daqqaq dan mendengarkan
pelajaran-pelajaran darinya. Ad-daqqaq banyak berbicara tentang bagaimana
cara-cara pencerahan jiwa yang kotor, upaya-upaya dan latihan menuju pencerahan
tentang intuisi dan kalbu, juga masalah-masalah keruhanian lainnya. Mulailah
Al-qushayri berguru kepada Ad-daqqaq, kini dia tidak saja rajin mempelajari
ilmu-ilmu lahir tapi juga tekun dalam mempelajari ilmu-ilmu batin. Dia tidak
saja mahir dalam ilmu-ilmu rasional, namun juga mendalam di bidang ilmu-ilmu
intuitif dan keruhanian.[2]
Syeikh Al-qushayri
mengawini Fatimah, putri gurunya Abu Ali al-Hasan bin Ali an-Naisabury
(ad-daqqaq). Fatimah adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan
dan sastra, dan tergolong wanita ahli ibadat di massanya, serta meriwayatkan
beberapa hadist.Al-Qushayri mempunyai putra enam orang dan seorang putri.
Putra-putranya menggunakan nama Abdu, Sedangkan seorang putrinya bernama Amatul
Karim.
Maha guru
syeikh ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan para ulama terkenal, antara
lain adalah syeikh Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Juwainy, salah seorang
Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-baihaqy,
seorang ulama pengarang besar, dan sejumlah besar ulama-ulama masyhur yang
sangat dihormati ketika itu. Dikisahkan diantara salah satu dari sekian karamah
Maha Guru syeikh al-Qushayri ini, antara lain memiliki kuda, hadiah dari
seseorang. Kuda itu mengabdi kepada syeikh selama 20 tahun. Ketika syeikh
meninggal, si kuda amat sedih. Selama seminggu ia tidak mau makan hingga kuda
itu pun mati.[3]
1.2
Pemikiran tasawuf tokoh sufi Al-qushayri
Seandaikan karya Al-Qusyairi,
Ar-Risalah al-Qusyairi dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana dia
cenderung mengembalikan tasawuf ke
atas landasan doktrin Ahlus Sunnah, sebagaimana
pernyatannya,“ketauhilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina
prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharah
doktrin mereka dari penyimpangan.[4]
Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid
kaum salaf maupun Ahlus Sunnah, yang tidak tertandingi serta mengenal
macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan
bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya.
Secara implisit dalam ungkapan Al-qusyairi
tersebut terkandung penolakan terhadap para sufi syathahi yang mengucapkan
ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat
ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan,
khususnya sifat baharunya. Bahkan dengan konotasi lain secara terang-terangan
Al-qusyairi mengkritik mereka. Mereka menyatakan bahwa mereka telah bebas dari perbudakan
sebagai belenggu dan berhasil mencapai realita-realita rasa penyatuan dengan Tuhan (wushul). Lebih
jauh lagi, mereka tegak bersama Yang Maha Besar, dimana hukum-hukum-Nya berlaku
atas diri mereka, sementara mereka dalam
keadaan fana. Allah pun, menurut mereka
tidak mencela maupun melarang apa
yang mereka nyatakan ataupun lakukan. Dan kepada mereka disingkapkan
rahasia-rahasia keesaan dan setelah fana, mereka pun tetap memperoleh
cahaya-cahaya ketuhanan, tempat bergantung pada sesuatu.
Selain
itu, Al-qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran
mereka mempergunakan pakaian orang-orang
miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan tindakan mereka. Ia menekankan
bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh
pada Al-Quran dan As-Sunnah, lebih penting ketimbang pakaian lahiriah.
Sebagaimana perkatannya, “Duhai
saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan
yang kau lihat (pada para sufi sezamannya). Sebab, ketika hakikat
realitas-realitas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para sufi yang mengada-ada
dalam berpakaian. Setiap tasawuf yang
tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat
adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri dan setiap yang batin itu bertentangan dengan lahir adalah keliru
dan bukannya yang batin. setiap tauhid yang tidak dibenarkan Al-qur’an maupun As-sunnah
adalah pengingkaran Tuhan dan bukan tauhid. Setiap pengenalan terhadap Allah
yang tidak dibarengi kerendahan hati maupun kelurusan jiwa adalah palsu dan bukannya
pengenalan terhadap Allah.”
Dalam konteks yang berbeda, dengan
ungkapan yang pedas, Al-qusyairi mengemukakan suatu penyimpangan lain dari pada
abad kelima Hijriah, “Kebanyakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari
kelompok tersebut telah tiada. Dalam
bekas mereka, tidak ada yang tinggal dari kelompok tersebut, kecuali
bekas-bekas mereka.”
Zaman
telah berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah menyimpang dari
hakikat realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka. Tidak
banyak lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah
kerendahan hati dan punahlah sudah kesederhanaan hidup. Ketamakan semakin
menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah kehormatan harga dari
kalbu. Betapa sedikit orang-orang yang berpegang teguh pada Agama. Banyak orang
yang menolak membedakan masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan
sikap menghormati orang lain dan
membuang jauh rasa malu. Bahkan, mereka merasa enteng pelaksanaan ibadah ,
melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai dalam medan kemabukan. Mereka jatuh
dalam pelukan nafsu syahwat dan tidak peduli sekalipun melakukan hal-hal yang
tidak diperbolehkan.[5]
Pendapat Al-qusyairi diatas
barangkali terlalu berlebihan. Namun, apapun masalahnya, paling tidak, hal itu
menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya
mulai menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau
dari segi-segi moral dan tingkah laku.
Oleh karena itu pula, Al-qusyairi menyatakan bahwa ia menulis
risalahnya karena dorongan rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa jalan
tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok
tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya.
Risalahnya itu, menurutnya sekedar “pengobatan keluhan” atas apa yang menimpa
tasawuf pada masanya.
1.3
Corak pemikiran tasawuf tokoh sufi Al-qushayri
Pada mulanya, tasawuf itu ditandai
ciri-ciri psikologis dan moral, yaitu pembahasan analisis tentang jiwa manusia
dalam menciptakan moral yang sempurna. Tasawuf
akhlaki termasuk salah satu tokohnya yaitu Al-qusyairi. Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaqi
antara lain
1. Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tasawuf
jenis ini, dalam pengamalan ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan
Qur’ani dan Hadis sebagai kerangka pendekatannya.[6]
2. Tidak menggunakan
terminologi-terminologi filsafat sebagaimana
terdapat pada ungkapan-uangkapan syathatat.
Terminology-terminologi di kembagngkan tasawuf Sunni lebih transparan, sehingga
tidak kerap bergelut dengan
terma-terma syathatat, walaupun ada tema yang mirip syathatat, itu di anggapanya merupakan pengalaman pribadi dan
mereka tidak menyebarkannya kepada orag lain.
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme
dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksudkan disini
adalah ajaran yang mengakui bahwa
meskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam
kerangka yang berbeda di antara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apapun
manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat manusia dapat menyatu dengan
Tuhan.
4. Kesinambungan antara hakikat dengan
syari’at. Dalam pengertian lebih khusus, keterkaitan antara tasawuf (sebagai
aspek batiniahnya) dengan fiqih (aspek lahirnya). Hal ini merupakan konsekuensi
dari paham diatas, karena berbeda dengan Tuhan, manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan tetap berada
pada posisi atau kedudukannya sebagi
objek penerima informasi dari Tuhan.
5.
Lebih terkonsentrasi pada pembinaan,
pendidikan akhlak, dan pengaobatan jiwa dengan cara riyadhah
(latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli .Tasawuf
akhlaki adalah tasawuf yang berorientasi pada teori perilaku. Tasawuf seperti
ini ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan dalam kaum
salaf (salafi). Pada mulanya, tasawuf
ini bercirikan untuk mengupayakan agar manusia memiliki moral atau akhlak yang
sempurna. Pada periode ini, para sufi telah melihat bahwa manusia adalah
makhluk jasmani dan rohani karena wujud kepribadiannya bukanlah
kualitas-kualitas yang bersifat material belaka, tetapi justru bersifat
kualitas-kualitas rohaniyah-spritual yang hidup dan dinamis.
1.4
Karya-karya Tokoh sufi Al-Qushayri
Imam
Al-Qushayri dikenal sebagai seorang Ulama lebih dari satu disiplin ilmu. Di
atas semua disiplin ilmu, ia adalah
seorang sufi besar, seorang pengarang dalam bidang tasawuf dan ilmu-ilmu islam.
Karena itu tidak aneh bila karya-karyanya cukup banyak. Di sini akan disebutkan
karya-karyanya menurut abjad (arab) sebagai berikut[7]
:
1.
Ahkamus
Syar’i.
2.
Adabus
Shufiyah.
3.
Al-Arba’un
fil hadits (sebuah kitab hadist yang disajikan oleh Syeikh Al-Qushayri,
berjumlah 40 hadist Rasulullah SAW, dengan sanad yang muttasil dari gurunya
sendiri, Abu ali ad-Daqqaq).
4.
Istifadhatul
Muradat.
5.
Bulghatul
Maqashid fit-Tasawwuf.
6.
At
–Tahbir fit-Tadzkir.
7.
Tartibus
Suluk fi thariqillaahi Ta’ala: (merupakan suatu risalah).
8.
At
–Tauhidun Nabawy.
9.
At
–Taisir fi Ilmit Tafsir : (buku ini disebut At-Tafsirul Kabir yang merupakan
buku pertama yang disusun oleh Maha Guru. Buku itu diselesaikan tahun 410 H.
Menurut Ibnu Khalikan, tajuddin as-Subky dan Jalaludin as-Suyuthy sepakat bahwa
tafsir tersebut merupakan tafsir terbaik.
10. Al –Jawahir.
11. Hayatul Arwah, wad-Dalil ila Thariqil Ishlah.
12. Diwan Syi’r.
13. Adz-Dzikr wadz-Dzaakir.
14. Ar- Risalatul Qusyairiyah fi Ilmit-Thasawwuf, yang ditulis pada
tahun 438H.
15. Siratul Masyayikh.
16. Syarhul Asmaa’il Husna.
17. Syakayatu Ahlis Sunnah maa Naalahum minal mihnah.
BAB III
KESIMPULAN
Nama lengkapnya adalah Abd Al-karim bin
Hawazin Al-qushayri. Dia dilahirkan pada bulan Rabi’ul awal tahun 376 H di Ustua,
dan wafat pada bulan Rabi’ul akhir 465 H. Beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya
telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan pada
Abul Qasim al-Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al-qushayri. Pada
Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra. Abdul Karim bin Hawazin Al-qushayri
memulai karir keilmuan dengan belajar kepada para ulama Nisapur, yang waktu itu
kota tersebut menjadi pusat keilmuan dan kebudayaan di kawasannya.
Pemikiran
tasawuf tokoh sufi Al-qushairi, diantaranya adalah mengembalikan tasawuf ke landasan ahlussunnah,
Al-qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena
kegemaran mereka mempergunakan pakaian
orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan tindakan mereka, penyimpangan
Para Sufi.
Corak pemikiran dari tokoh sufi Al-qusayri adalah melandaskan diri pada Al-qur’an dan As-Sunnah, tidak menggunakan
terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-uangkapan syathatat. Terminology-terminologi di
kembagngkan tasawuf sunni lebih transparan, sehingga tidak kerap bergelut dengan terma-terma syathatat,
lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia,
kesinambungan antara hakikat dengan syari’at. Dalam penegrtian lebih khusus,
keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniahnya) dengan fiqh (aspek
lahirnya), Lebih terkonsentrasi pada pembinaan, pendidikan akhlak, dan
pengaobatan jiwa dengan cara riyadhah(latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
Karya-karya yang di hasilkan oleh
tokoh sufi Al-Qusayri antara lain adalah Istifadhatul
Muradat, Bulghatul Maqashid fit-Tasawwuf, At –Tahbir fit-Tadzkir, Hayatul Arwah,
wad-Dalil ila Thariqil Ishlah, Diwan Syi’r, Adz-Dzikr wadz-Dzaakir, Ar-
Risalatul Qusyairiyah fi Ilmit-Thasawwuf, yang ditulis pada tahun 438H, Siratul
Masyayikh, Syarhul Asmaa’il Husna, Syakayatu Ahlis Sunnah maa Naalahum minal
mihnah.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al - Qusayri, Imam.1997. “Risalatul Qusyairiyah”.
Surabaya: Risalah Gusti.
2.
Zaini, Fudoli. 2000. “Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan
Pemikirannya”. Surabaya: Risalah Gusti.
3.
Isa, Ahmadi. 2011. “Tokoh-Tokoh Sufi”. Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada.
4.
Alliansyah,Ari.2011.Sejarah
dan Pemikiran Al-Qusayri.
http://arrialiansyah.blogspot.com. Di akses tanggal 28
Oktober 2012.
[1]Ahmadi Isa“ Tokoh-Tokoh Sufi”
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011),175
[2]Fudoli Zaini,” Sepintas Sastra
Sufi, tokoh dan pemikirannya” (Surabaya:Risalah Gusti,2000), 52
[3]Imam al-Qushayri”Risalatul
Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf” (Surabaya : Risalah Gusti,1999), xiii
[4]Alliansyah,”Sejarah
dan pemikiran Al-Qusayri”.Diakses dari http://arrialiansyah.blogspot.com.(28
Oktober 2012).
[5]Alliansyah,”Sejarah dan pemikiran
Al-Qusayri”.Diakses dari http://arrialiansyah.blogspot.com.
(tanggal 28 Oktober 2012).
[6]Alliansyah,”Sejarah
dan pemikiran Al-Qusayri”.Diakses dari http://arrialiansyah.blogspot.com.(28
Oktober 2012).
[7]Imam al-Qushayri”Risalatul Qusyairiyah
Induk Ilmu Tasawuf” (Surabaya : Risalah Gusti,1999), 32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar