Minggu, 21 April 2013

Tokoh sufi Al-Qusayry


BAB I

PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang Masalah


Pada hakikatnya tasawuf merupakan pengalaman pribadi seseorang hamba dengan Tuhannya, sehingga masing-masing individu memiliki kecenderungan dan pengalaman spiritual yang berbeda-beda sesuai dengan level tasawufnya. Oleh karenanya, wajar apabila setiap ulama sufi dalam menjelaskan arti sufi atau definisi tasawuf sesuai konteks pemikiran dan pengalaman keberagamaannya, berdasarkan intuisi masing-masing individu berbeda satu dengan lainnya.
    Telah banyak tokoh-tokoh sufi yang telah kita ketahui salah satunya adalah Al-Qusayri. Di sini penulis akan memberikan biografi singkat tokoh sufi Al-Qusayri, dengan bahasa yang mudah difahami. Pada saat ini telah muncul anggapan-anggapan manusia tentang sufi yang salah dalam mengartikan arti dari sufi itu sendiri, maka dari itu disini penulis juga akan menjelaskan sedikit tentang pemikiran dari tokoh sufi Al-Qusayri, supaya manusia tersebut mengetahui arti sebenarnya bagaimana pemikiran tokoh sufi yaitu Al-Qusayri.
Upaya para sufi dalam mencapai kedekatan dengan Tuhannya telah melahirkan aliran aliran pemikiran dalam tasawuf,yaitu : faham transendental dan union mistisisme . Para sufi yang memahami bahwa antara hamba dengan Tuhannya terdapat jarak pembatas,beranggapan bahwa untuk sampai pada kedekatannya seseorang harus sanggup membersihkan jiwanya melalui latihan-latihan spiritual dengan pendekatan syariat yang bersumber dari alqur'an dan sunnah nabi,aliran ini pun berkembang dan kemudian melahirkan bentuk tasawuf amali atau akhlaqi dan sering pula disebut dengan tasawuf suni atau tasawuf salafi , yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah yang pertama yaitu tasawuf akhlaki termasuk salah satu tokohnya yaitu Al-Qusyairi.
    Al-Qusayri adalah tokoh sufi yang juga banyak sekali menghasilkan karya-karya yang bagus. Penulis akan menjelaskan beberapa karya-karya yang dihasilkan oleh tokoh sufi Al-Qusayri, yang sangat banyak. Dengan bertujuan supaya pembaca dapat mengetahui karya-karya yang dihasilkan oleh tokoh sufi ini.


     Untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qusayri, penulis dalam makalah ini akan memaparkan beberapa pokok bahasan yang diataranya :
Rumusan masalah :
1.    Bagaimana biografi singkat tokoh sufi al-Qusayri?
2.    Bagaimana pemikiran tokoh sufi al-Qusayri?
3.    Bagaimana corak pemikiran tokoh sufi al-Qusayri?
4.    Apa saja karya-karya yang dihasilkan oleh tokoh sufi al-Qusayri?



























BAB II
PEMBAHASAN

1.1  Biografi singkat tokoh sufi Al-Qushayri
Nama lengkapnya adalah Abd Al-karim bin Hawazin Al-Qushayri. Dia dilahirkan pada bulan Rabi’ul awal tahun 376 H di Ustua[1], dan wafat pada Bulan Rabi’ul Akhir 465 H. Beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil.Kemudian pendidikannya diserahkan pada Abul Qasim al-Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al-Qushayri.Pada Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra. Abdul Karim bin Hawazin Al-Qushayri memulai karir keilmuan dengan belajar kepada para ulama Nisapur, yang waktu itu kota tersebut menjadi pusat keilmuan dan kebudayaan di kawasannya.
Pada suatu hari Al-Qushayri bertemu dengan Abu ali al-daqqaq dan mendengarkan pelajaran-pelajaran darinya. Ad-daqqaq banyak berbicara tentang bagaimana cara-cara pencerahan jiwa yang kotor, upaya-upaya dan latihan menuju pencerahan tentang intuisi dan kalbu, juga masalah-masalah keruhanian lainnya. Mulailah Al-qushayri berguru kepada Ad-daqqaq, kini dia tidak saja rajin mempelajari ilmu-ilmu lahir tapi juga tekun dalam mempelajari ilmu-ilmu batin. Dia tidak saja mahir dalam ilmu-ilmu rasional, namun juga mendalam di bidang ilmu-ilmu intuitif dan keruhanian.[2]
Syeikh Al-qushayri mengawini Fatimah, putri gurunya Abu Ali al-Hasan bin Ali an-Naisabury (ad-daqqaq). Fatimah adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan dan sastra, dan tergolong wanita ahli ibadat di massanya, serta meriwayatkan beberapa hadist.Al-Qushayri mempunyai putra enam orang dan seorang putri. Putra-putranya menggunakan nama Abdu, Sedangkan seorang putrinya bernama Amatul Karim.
Maha guru syeikh ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan para ulama terkenal, antara lain adalah syeikh Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Juwainy, salah seorang Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-baihaqy, seorang ulama pengarang besar, dan sejumlah besar ulama-ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu. Dikisahkan diantara salah satu dari sekian karamah Maha Guru syeikh al-Qushayri ini, antara lain memiliki kuda, hadiah dari seseorang. Kuda itu mengabdi kepada syeikh selama 20 tahun. Ketika syeikh meninggal, si kuda amat sedih. Selama seminggu ia tidak mau makan hingga kuda itu pun mati.[3]
1.2  Pemikiran tasawuf tokoh sufi Al-qushayri

Seandaikan karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairi dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana dia cenderung mengembalikan  tasawuf ke atas  landasan  doktrin Ahlus Sunnah, sebagaimana pernyatannya,“ketauhilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharah doktrin mereka dari penyimpangan.[4] Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid  kaum salaf maupun Ahlus Sunnah, yang tidak tertandingi serta mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan  bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya.
Secara implisit dalam ungkapan Al-qusyairi tersebut terkandung penolakan terhadap para sufi syathahi yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baharunya. Bahkan dengan konotasi lain secara terang-terangan Al-qusyairi mengkritik mereka. Mereka menyatakan bahwa mereka telah bebas dari perbudakan sebagai belenggu dan berhasil mencapai realita-realita  rasa penyatuan dengan Tuhan (wushul). Lebih jauh lagi, mereka tegak bersama Yang Maha Besar, dimana hukum-hukum-Nya berlaku atas diri mereka, sementara  mereka dalam keadaan fana. Allah pun, menurut mereka  tidak mencela maupun melarang  apa yang mereka nyatakan ataupun lakukan. Dan kepada mereka disingkapkan rahasia-rahasia keesaan dan setelah fana, mereka pun tetap memperoleh cahaya-cahaya ketuhanan, tempat bergantung pada sesuatu.
Selain itu, Al-qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran mereka  mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama  bertentangan dengan tindakan mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh  pada Al-Quran dan As-Sunnah, lebih penting ketimbang pakaian lahiriah. Sebagaimana perkatannya, “Duhai  saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada para sufi sezamannya). Sebab, ketika hakikat realitas-realitas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para sufi yang mengada-ada dalam berpakaian. Setiap tasawuf yang  tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri dan setiap yang batin  itu bertentangan dengan lahir adalah keliru dan  bukannya yang batin. setiap tauhid yang tidak dibenarkan Al-qur’an maupun As-sunnah adalah pengingkaran Tuhan dan bukan tauhid. Setiap pengenalan terhadap Allah yang tidak dibarengi kerendahan hati maupun kelurusan jiwa adalah palsu dan bukannya pengenalan terhadap Allah.
Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan yang pedas, Al-qusyairi mengemukakan suatu penyimpangan lain dari pada abad kelima Hijriah, “Kebanyakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok  tersebut telah tiada. Dalam bekas mereka, tidak ada yang tinggal dari kelompok tersebut, kecuali bekas-bekas mereka.”
Zaman telah berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah menyimpang dari hakikat realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka. Tidak banyak lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah kerendahan hati dan punahlah sudah kesederhanaan hidup. Ketamakan semakin menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah kehormatan harga dari kalbu. Betapa sedikit orang-orang yang berpegang teguh pada Agama. Banyak orang yang menolak membedakan masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan sikap  menghormati orang lain dan membuang jauh rasa malu. Bahkan, mereka merasa enteng pelaksanaan ibadah , melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai dalam medan kemabukan. Mereka jatuh dalam pelukan nafsu syahwat dan tidak peduli sekalipun melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan.[5]
Pendapat Al-qusyairi diatas barangkali terlalu berlebihan. Namun, apapun masalahnya, paling tidak, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf  pada masanya mulai menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan tingkah laku.
Oleh karena itu pula, Al-qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena dorongan rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya sekedar “pengobatan keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya.






1.3  Corak pemikiran tasawuf tokoh sufi Al-qushayri

Pada mulanya, tasawuf itu ditandai ciri-ciri psikologis dan moral, yaitu pembahasan analisis tentang jiwa manusia dalam menciptakan moral yang sempurna. Tasawuf akhlaki termasuk salah satu tokohnya yaitu Al-qusyairi. Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaqi antara lain
1. Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tasawuf jenis ini, dalam pengamalan ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan Qur’ani dan Hadis sebagai kerangka pendekatannya.[6]
2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana  terdapat pada ungkapan-uangkapan syathatat. Terminology-terminologi di kembagngkan tasawuf Sunni lebih transparan, sehingga tidak kerap bergelut  dengan terma-terma  syathatat, walaupun ada tema yang mirip syathatat, itu di anggapanya merupakan pengalaman pribadi dan mereka tidak menyebarkannya kepada orag lain.
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksudkan disini adalah ajaran yang mengakui bahwa  meskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda di antara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apapun manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat manusia dapat menyatu dengan Tuhan.
4. Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at. Dalam pengertian lebih khusus, keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniahnya) dengan fiqih (aspek lahirnya). Hal ini merupakan konsekuensi dari paham diatas, karena berbeda dengan Tuhan, manusia  dalam berkomunikasi dengan Tuhan tetap berada pada posisi atau kedudukannya  sebagi objek penerima informasi dari Tuhan.
5.   Lebih terkonsentrasi pada pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengaobatan jiwa dengan cara  riyadhah (latihan mental) dan langkah  takhalli, tahalli, dan tajalli .Tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang berorientasi pada teori perilaku. Tasawuf seperti ini ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan dalam kaum salaf (salafi). Pada mulanya, tasawuf ini bercirikan untuk mengupayakan agar manusia memiliki moral atau akhlak yang sempurna. Pada periode ini, para sufi telah melihat bahwa manusia adalah makhluk jasmani dan rohani karena wujud kepribadiannya bukanlah kualitas-kualitas yang bersifat material belaka, tetapi justru bersifat kualitas-kualitas rohaniyah-spritual yang hidup dan dinamis.
1.4  Karya-karya Tokoh sufi Al-Qushayri

Imam Al-Qushayri dikenal sebagai seorang Ulama lebih dari satu disiplin ilmu. Di atas semua  disiplin ilmu, ia adalah seorang sufi besar, seorang pengarang dalam bidang tasawuf dan ilmu-ilmu islam. Karena itu tidak aneh bila karya-karyanya cukup banyak. Di sini akan disebutkan karya-karyanya menurut abjad (arab) sebagai berikut[7] :
1.    Ahkamus Syar’i.
2.    Adabus Shufiyah.
3.    Al-Arba’un fil hadits (sebuah kitab hadist yang disajikan oleh Syeikh Al-Qushayri, berjumlah 40 hadist Rasulullah SAW, dengan sanad yang muttasil dari gurunya sendiri, Abu ali ad-Daqqaq).
4.    Istifadhatul Muradat.
5.    Bulghatul Maqashid fit-Tasawwuf.
6.    At –Tahbir fit-Tadzkir.
7.    Tartibus Suluk fi thariqillaahi Ta’ala: (merupakan suatu risalah).
8.    At –Tauhidun Nabawy.
9.    At –Taisir fi Ilmit Tafsir : (buku ini disebut At-Tafsirul Kabir yang merupakan buku pertama yang disusun oleh Maha Guru. Buku itu diselesaikan tahun 410 H. Menurut Ibnu Khalikan, tajuddin as-Subky dan Jalaludin as-Suyuthy sepakat bahwa tafsir tersebut merupakan tafsir terbaik.
10.  Al –Jawahir.
11.  Hayatul Arwah, wad-Dalil ila Thariqil Ishlah.
12.  Diwan Syi’r.
13.  Adz-Dzikr wadz-Dzaakir.
14.  Ar- Risalatul Qusyairiyah fi Ilmit-Thasawwuf, yang ditulis pada tahun 438H.
15.  Siratul Masyayikh.
16.  Syarhul Asmaa’il Husna.
17.  Syakayatu Ahlis Sunnah maa Naalahum minal mihnah.




BAB III
KESIMPULAN

       Nama lengkapnya adalah Abd Al-karim bin Hawazin Al-qushayri. Dia dilahirkan pada bulan Rabi’ul awal tahun 376 H di Ustua, dan wafat pada bulan Rabi’ul akhir 465 H. Beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan pada Abul Qasim al-Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al-qushayri. Pada Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra. Abdul Karim bin Hawazin Al-qushayri memulai karir keilmuan dengan belajar kepada para ulama Nisapur, yang waktu itu kota tersebut menjadi pusat keilmuan dan kebudayaan di kawasannya.
Pemikiran tasawuf tokoh sufi Al-qushairi, diantaranya adalah mengembalikan tasawuf ke landasan ahlussunnah, Al-qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran mereka  mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama  bertentangan dengan tindakan mereka, penyimpangan Para Sufi.
Corak pemikiran dari tokoh sufi Al-qusayri adalah melandaskan diri pada Al-qur’an dan As-Sunnah, tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-uangkapan syathatat. Terminology-terminologi di kembagngkan tasawuf sunni lebih transparan, sehingga tidak kerap bergelut  dengan terma-terma  syathatat, lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia, kesinambungan antara hakikat dengan syari’at. Dalam penegrtian lebih khusus, keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniahnya) dengan fiqh (aspek lahirnya), Lebih terkonsentrasi pada pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengaobatan jiwa dengan cara  riyadhah(latihan mental) dan langkah  takhalli, tahalli, dan tajalli.
            Karya-karya yang di hasilkan oleh tokoh sufi Al-Qusayri antara lain adalah Istifadhatul Muradat, Bulghatul Maqashid fit-Tasawwuf, At –Tahbir fit-Tadzkir, Hayatul Arwah, wad-Dalil ila Thariqil Ishlah, Diwan Syi’r, Adz-Dzikr wadz-Dzaakir, Ar- Risalatul Qusyairiyah fi Ilmit-Thasawwuf, yang ditulis pada tahun 438H, Siratul Masyayikh, Syarhul Asmaa’il Husna, Syakayatu Ahlis Sunnah maa Naalahum minal mihnah.





DAFTAR PUSTAKA

1.      Al - Qusayri, Imam.1997. “Risalatul Qusyairiyah”. Surabaya: Risalah Gusti.
2.      Zaini, Fudoli. 2000. “Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya”. Surabaya: Risalah Gusti.
3.      Isa, Ahmadi. 2011. “Tokoh-Tokoh Sufi”. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
4.      Alliansyah,Ari.2011.Sejarah dan Pemikiran Al-Qusayri.
http://arrialiansyah.blogspot.com.  Di akses tanggal 28 Oktober 2012.



[1]Ahmadi Isa“ Tokoh-Tokoh Sufi” (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011),175
[2]Fudoli Zaini,” Sepintas Sastra Sufi, tokoh dan pemikirannya” (Surabaya:Risalah Gusti,2000), 52
[3]Imam al-Qushayri”Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf” (Surabaya : Risalah Gusti,1999), xiii
[4]Alliansyah,”Sejarah dan pemikiran Al-Qusayri”.Diakses dari http://arrialiansyah.blogspot.com.(28 Oktober 2012).

[5]Alliansyah,”Sejarah dan pemikiran Al-Qusayri”.Diakses dari http://arrialiansyah.blogspot.com. (tanggal 28 Oktober 2012).
[6]Alliansyah,”Sejarah dan pemikiran Al-Qusayri”.Diakses dari http://arrialiansyah.blogspot.com.(28 Oktober 2012).
[7]Imam al-Qushayri”Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf” (Surabaya : Risalah Gusti,1999), 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar