Senin, 24 Juni 2013

Tugas Uas ICT



Pengembangan Keilmuan Profesionalisme Guru MI
Chamidatun Ni’mah

A.     Pengertian Guru
Menurut pepatah jawa, Guru adalah digugu lan ditiru yang berarti bahwa guru merupakan sosok yang menjadi panutan bagi siswanya.[1] Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah seorang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Dalam bahasa Arab disebut mu’allim dan dalam bahasa Inggris disebut Teacher.
Itu semua memiliki arti yang sederhana yakni "A Person Occupation is Teaching Other" artinya guru ialah seorang yang pekerjaannya mengajar orang lain. Dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa
ôs)s9 £`tB ª!$# n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# øŒÎ) y]yèt/ öNÍkŽÏù Zwqßu ô`ÏiB ôMÎgÅ¡àÿRr& (#qè=÷Gtƒ öNÍköŽn=tæ ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÅe2tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê AûüÎ7B ÇÊÏÍÈ  
164. Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.(QS:Al-imran ayat 164)
   Sebagai pendidik dan pengajar anak, guru diibaratkan seperti ibu kedua yang mengajarkan berbagai macam hal yang baru dan sebagai fasilitator anak supaya  dapat belajar dan mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal,hanya saja ruang lingkupnya guru berbeda, guru mendidik dan mengajar di sekolah negeri ataupun swasta.[2]
         Menurut Ngalim Purwanto bahwa guru ialah orang yang pernah memberikan suatu ilmu atau kepandaian kepada seseorang atau sekelompok orang. Ahmad Tafsir mengemukakan pendapat bahwa guru ialah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif, kognitif maupun psikomotorik. Sedangkan menurut Hadari Nawawi bahwa pengertian guru dapat dilihat dari dua sisal. Pertama secara sempit, guru adalah ia yang berkewajiban mewujudkan program kelas, yakni orang yang kerjanya mengajar dan memberikan pelajaran di kelas. Sedangkan secara luas diartikan guru adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak dalam mencapai kedewasaan masing-masing.
Pengertian-pengertian diatas menurut Muhibbin Syah masih bersifat umum, dan oleh karenanya dapat mengundang bermacam-macam interpretasi dan bahkan juga konotasi (arti lain). Pertama adalah kata "seorang (A Person) bisa mengacu pada siapa saja asal pekerjaan sehari-harinya (profesinya) mengajar. Dalam hal ini berarti bukan hanya dia yang sehari-harinya mengajar disekolah yang dapat disebut guru, melainkan juga dia-dia yang lainnya yang berprofesi (berposisi) sebsagai Kyai di pesantren, pendeta di gereja, instruktur di balai pendidikan dan pelatihan, kedua adalah kata "mengajar" dapat pula ditafsirkan bermacam-macam misalnya, Menularkan (menyampaikan) pengetahuan dan kebudayaan kepada orang lain (bersifat kognitif), Melatih keterampilan jasmani kepada orang lain (psikomotorik, Menanamkan nilai dan keyakinan kepada orang lain (afektif)
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil sebuah konklusi bahwa yang dimaksud guru adalah seorang atau mereka yang pekerjaannya khusus menyampaikan (mengajarkan) materi pelajaran kepada siswa disekolah.[3] Dalam pengertian yang sederhana guru adalah orang yang member ilmu pengetahua kepada anak didik. [4]Guru memang menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat. Kewibawaanlah yang menyebabkan guru dihormati, sehingga masyarakat tidak meragurakan figur guru. Masyarakat yakin bahwa gurulah yang dapat mendidik anak didik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian mulia.
Dengan demikian dapat disimpulkan  bahwa guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab untuk membimbing dan membina anak didik, baik secara individu maupun secara klasikal, di sekolah maupun di luar sekolah.
B.     Mewujudkan Guru Ideal
Kesuksesan pendidikan sangat dipengaruhi oleh kualitas guru. Jika guru berkualitas baik, tentunya mutu pendidikan pun akan membaik. Itu pun berlaku sebaliknya. Jika mutu guru rendah, tentu mutu pendidikan pun akan terpengaruh. Maka, mutu pendidikan teramat dipengaruhi oleh mutu guru. Berbicara tentang mutu guru, perkenankanlah saya untuk berpendapat tentang Guru Ideal. Jujur, saya sering gelisah jika bertemu dengan rekan-rekan guru. Saya teramat prihatin dengan kondisi mentalnya. Entahlah, apakah Anda juga mengalami kegelisahan itu? Yang jelas, saya menulis ini berdasarkan pengamatanku. Saya berpendapat bahwa guru ideal belumlah menjadi impian mereka. Rerata guru hanya mengajarkan pengetahuan kepada peserta didiknya.
              Menurut saya, guru ideal itu mempunyai lima ciri. Oleh karena itu, semua guru semestinya berusaha mewujudkan kelima ciri tersebut. Pertama memiliki jiwa pengabdian. Dalam pandangan sekarang ini, kita melihat bahwa jiwa pengabdian guru sudah terkikis. Jarang dan teramat jarang ditemukan guru yang mempunyai jiwa pengabdian. Rerata mereka sekadar mengejar gaji dan uang. Mereka hanya bekerja jika diiming-imingi penghargaan. Tentu guru ideal tidak boleh memiliki jiwa ini. Guru ideal mesti mempunyai pengabdian yang baik kepada negeri. Kedua, guru ideal selalu gemar belajar. Anak sekolah sekarang sudah pintar. Mereka sudah dapat menggunakan computer dan internet. Namun, banyak guru masih gaptek.
              Ketiga menjadi motivator Guru perlu memamerkan kepandaiannya kepada peserta didik. Para guru harus menjadi contoh dan figur bagi siswanya. Penguasaan materi, penguasaan teknologi, dan penguasaan bahasa mesti dimiliki agar dapat memotivasi siswanya. Kelak siswa pasti akan meniru keberhasilan gurunya. Guru ideal adalah guru motivator.
Keempat, gemar berbagi. Guru juga menjadi bagian komunitas lingkungan, baik di tempat tinggalnya maupun sekolahnya. Dengan kondisi demikian, guru mesti mempunyai jiwa berbagi. Ilmu pengetahuan tidak perlu disimpan agar menuai keberkahan. Teramat disayangkan, guru sering tidak memiliki jiwa ini karena kemalasannya. Apanya yang mau dibagi karena dirinya justru miskin keilmuan? Kelima, menjauhi budaya konsumerisme. Semua orang berhak kaya jika memang ia mempunyai kemampuan untuk menjadi orang kaya. Namun, itu akan berbalik 180 derajat jika dipaksakan[5]
C.     Kode Etik Guru
Kode etik guru diartikan sebagai aturan tata susila keguruan. Menurut Wetsby Gibson kode etik guru dikatakan sebagai suatu stetemen formal yang merupakan normal (aturan tata susila) dalam mengatur tingkah laku guru.
Berbicara mengenai kode etik guru indonesia berarti kita membicarakan guru di negara kita. Berikut akan dikemukakan kode etik guru indonesia sebagai hasil rumusan kongres PGRI XIII pada tanggal 21 sampai dengan 25 November 1973 di Jakarta, terdiri dari sembilan item, yaitu:[6]
1.      Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk pembangunan yang ber-Pancasila.
2.      Guru memiliki kejujuran professional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing.
3.      Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik, tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan.
4.      Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua murid dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik.
5.      Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan.
6.      Guru secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama Mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
7.      Guru menciptakan dan memelihara hubungan antar sesama guru baik berdasarkan lingkungan kerja maupun di dalam hubungan keseluruhan.
8.      Guru secara bersama-sama memelihara,membina,dan meningkatkan organisasi guru professional sebagai sarana pengabdiannya.
9.      Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerinah dalam bidang pendidikan.
                      Kode etik  guru dalam melaksanakan tugas ini apabila tidak diatur, maka kinerja guru dalam mengembangkan keilmuannya kadang-kadang  dapat menyimpang dari objektivitasnya, dan yang menjadi korban adalah generasi bangsa kita. Bila diperhatikan dari bidang tugasnya itu, maka kode etik guru ini minimal meliputi tiga hal yakni , kompoten dalam mengajarkan bidang studinya,  profesional dalam melaksanakan tugas guru dan trampil dan benas dalam melaksanakan kinerjanya seorang guru.[7] .  
D.  Profesionalisme Guru Dalam Dunia Keilmuan Pendidikan
Guru dalam proses pembelajaran pada suatu lembaga pendidikan berfungsi sebagai mediator dalam penyampaian materi-materi yang diajarkan kepada peserta didik, untuk kemudian ditindak lanjuti oleh peserta didik dalam kehidupan nyatanya, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Dalam proses pembelajaran ini, untuk menjadi guru yang profesional, hendaknya guru memiliki dua kategori, yaitu capability dan loyality, artinya guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi sampai evaluasi dan memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal kepada tugas-tugas keguruan yang tidak semata-mata di dalam kelas, tapi sebelum dan sesudah di kelas.
Pekerjaan guru merupakan profesi atau jabatan yang memerlukan keahlian khusus. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Disini perlu diingat bahwa tugas profesi guru meliputi : mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan kepada anak didik. Sementara tugas sosial guru tidak hanya terbatas pada masyarakat saja, akan tetapi lebih jauh guru adalah orang yang diharapkan mampu mencerdaskan bangsa dan mempersiapkan manusia-manusia yang cerdas, terampil dan beradab yang akan membangun masa depan bangsa dan negara. Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin tercipta dan terbinanya sumber daya manusia yang andal dalam melakukan pembangunan bangsa.
Secara sederhana tanggung jawab guru adalah mengarahkan dan membimbing para murid agar semakin meningkat pengetahuannya, semakin mahir keterampilannya dan semakin terbina dan berkembang potensinya. Dalam hubungan ini ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang mampu melaksanakan inspiring teaching, yaitu guru yang melalui kegiatan mengajarnya mampu mengilhami murid-muridnya. Melalui kegiatan mengajar yang dilakukannya seorang guru mampu mendorong para siswa agar mampu mengemukakan gagasan besar dari murid-muridnya.
Persoalan guru dalam dunia pendidikan senantiasa mendapat perhatian besar dari pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah memandang mereka sebagai media yang sangat penting, artinya bagi pembinaan dan pengembangan bangsa. Mereka adalah pengemban tugas-tugas sosial kultural yang berfungsi mempersiapkan generasi muda sesuai dengan cita-cita bangsa. Sementara masyarakat memandang pekerjaan guru merupakan pekerjaan istimewa yang berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Dalam pandangan masyarakat, pekerjaan guru bukan semata-mata sebagai mata pencaharian belaka yang sejajar dengan pekerjaan tukang kayu atau pedagang atau yang lain. Pekerjaan guru menyangkut pendidikan anak, pembangunan negara dan masa depan bangsa.
Bekerja secara profesional berarti bekerja secara baik dan dengan penuh pengabdian pada satu pekerjaan tertentu yang telah menjadi pilihannya. Guru yang profesional akan bekerja dalam bidang kependidikan secara optimal dan penuh dedikasi guna membina anak didiknya menjadi tenaga-tenaga terdidik yang ahli dalam bidang yang menjadi spesialisnya. Hal ini dengan sendirinya menuntut adanya kemampuan atau keterampilan kerja tertentu. Dari sisi ini, maka keterampilan kerja merupakan salah satu syarat dari suatu profesi. Namun tidak setiap orang yang memiliki keterampilan kerja pada satu bidang tertentu dapat disebut sebagai profesional.
Keterampilan kerja yang profesional didukung oleh konsep dan teori terkait. Dengan dukungan teori ini memungkinkan orang yang bersangkutan tidak saja menguasai bidang itu, akan tetapi juga mampu memprediksi dan mengontrol suatu gejala yang dijelaskan oleh teori itu. Atas dasar inilah, maka pekerjaan profesional memerlukan pendidikan dan latihan yang bertaraf tinggi yang kalau diukur dari jenjang pendidikan yang ditempuh memerlukan pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Dengan berbekal profesionalisme yang tingi pada setiap pendidik (guru) tersebut, maka dunia pendidikan di Indonesia akan menjadi terangkat.
Namun dewasa ini, dunia pendidikan kita sedang dilanda krisis “profesionalisme guru”, khususnya yang terjadi pada lembaga pendidikan Pendidikan, karena disebabkan oleh berbagai hal. Hal tersebut menjadi problematika dunia pendidikan dan menjadi belenggu bagi terciptanya suatu tatanan pendidikan yang mapan dalam upaya penciptaan mutu lulusan yang capabel di bidang keilmuannya, skillnya dan bahkan akhlaqnya. Krisis profesionalisme guru dalam dunia pendidikan merupakan problematika tersendiri bagi dunia pendidikan dalam menciptakan mutu yang baik yang disebabkan oleh kurangnya kesadaran guru akan jabatan dan tugas yang diembannya serta tanggung jawab keguruannya. Guru hanya menganggap “mengajar” sebagai kegiatan untuk mencari nafkah semata atau hanya untuk memperoleh salary dan sandang pangan demi survival fisik jangka pendek, agaknya akan berbeda dengan cara seseorang yang memandang tugas atau pekerjaannya sebagai calling profesio dan amanah yang hendak dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Disamping itu munculnya sikap malas dan tidak disiplin waktu dalam bekerja dapat bersumber dari pandangannya terhadap pekerjaan dan tujuan hidupnya. Karena itu, adanya etos kerja yang kuat pada seseorang guru memerlukan kesadaran mengenai kaitan suatu pekerjaan dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh dan memberinya keinsyafan akan makna dan tujaun hidunya.
  Hal yang mempengaruhi terhadap lemahnya sikap profesionalisme dan etos kerja guru disebabkan oleh dua faktor penting  yaitu Faktor pertimbangan internal, yang menyangkut ajaran yang diyakini atau sistem budaya dan agama, semangat untuk menggali informasi dan menjalin komunikasi dan juga Faktor pertimbangan eksternal yang menyangkut pertimbangan historis, termasuk di dalamnya latar belakang pendidikan dan lingkungan alam di mana ia hidup, pertimbangan sosiologis atau sistem sosial di mana ia hidup dan pertimbangan lingkungan lainnya.
 Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru diantaranya tingkat pendidikan guru, supervisi pengajaran, program penataran, iklim yang kondusif, sarana dan prasarana, kondisi fisik dan mental guru, gaya kepemimpinan kepala sekolah, jaminan kesejahteraan, kemampuan manajerial kepala sekolah dan lain-lain.
 Pertama, tingkat pendidikan guru akan sangat mempengaruhi baik tidaknya kinerja guru. Kemampuan seorang sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya, karena melalui pendidikan itulah seseorang mengalami proses belajar dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Selama menjalani pendidikannya seseorang akan menerima banyak masukan baik berupa ilmu pengetahuan maupun keterampilan yang akan mempengaruhi pola berpikir dan prilakunya. Ini berarti jika tingkat pendidikan seseorang itu lebih tinggi maka makin banyak pengetahuan serta ketrampilan yang diajarkan kepadanya sehingga besar kemungkinan kinerjanya akan baik karena didukung oleh bekal ketrampilan dan pengetahuan yang diperolehnya.
  Kedua, faktor lain yang mempengaruhi kinerja guru adalah supervisi pengajaran yaitu serangkaian kegiatan membantu guru dalam mengembangkan kemampuannya. Kepala sekolah bertugas memberikan bimbingan, bantuan, pengawasan dan penelitian pada masalah-masalah yang berhubungan dengan pengembangan pengajaran berupa perbaikan program dan kegiatan belajar mengajar. Sasaran supervisi ditujukan kepada situasi belajar mengajar yang memungkinkan terjadinya tujuan pendidikan secara optimal.
  Ketiga, kinerja guru juga dipengaruhi oleh program penataran yang diikutinya. Untuk memiliki kinerja yang baik, guru dituntut untuk memiliki kemampuan akademik yang memadai, dan dapat mengaplikasikan ilmu yang dimilikinya kepada para siswa untuk kemajuan hasil belajar siswa. Hal ini menentukan kemampuan guru dalam menentukan cara penyampaian materi.
         
Keempat, iklim yang kondusif di sekolah juga akan berpengaruh pada kinerja guru, di antaranya : pengelolaan kelas yang baik yang menunjuk pada pengaturan orang (siswa), maupun pengaturan fasilitas (ventilasi, penerangan, tempat duduk, dan media pengajaran). Selain itu hubungan antara pribadi yang baik antara kepala sekolah, guru, siswa dan karyawan sekolah akan membuat suasana sekolah menyenangkan dan merupakan salah satu sumber semangat bagi guru dalam melaksanakan tugasnya.[8]
E. Telaah Epistemologis Menuju Profesionalisme Guru dalam Dunia Keilmuan pendidikan.
Menghadapi problematika dunia pendidikan dewasa ini yang berkaitan dengan penyiapan tenaga pendidik (guru) yang profesional merupakan tantangan tersendiri yang membutuhkan penyelesaian secara epistemologis. Problematika tersebut antara lain, mampukah dunia pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat memainkan peranan secara fungsional di tengah-tengah dunia keilmuan yang sedang berkembang, dan mampukah dunia pendidikan menciptakan mutu lulusan yang mampu mengangkat dunia keilmuan Pendidikan seperti sedia kala (seperti masa keemasan dunia keilmuan Pendidikan).
Tantangan tersebut bila dapat dijawab secara tepat akan menjadi peluang yang akan memberikan keuntungan yang luar biasa bagi terciptanya profesionalisme guru yang berimplikasi pada penyiapan mutu lulusan yang mampu mengangkat dunia keilmuan Pendidikan. Hal tersebut perlu dikemukakan karena secara kelembagaan dunia pendidikan dengan ujung tombak guru merupakan lembaga yang dipercaya untuk menyiapkan kader pemimpin masa depan bangsa. Berkaitan dengan ini, maka upaya untuk membangun profesionalisme guru secara epistemologis tidak dapat ditunda-tunda lagi. Untuk itu, beberapa pemikiran epistemologis guna menciptakan profesionalisme guru yang dapat mengangkat dunia keilmuan Pendidikan di bawah ini perlu dipertimbangkan dan direnungkan.
Pertama, telah banyak pemikiran yang dikemukakan para ahli dalam rangka menjawab pertanyaan yang dihadapi lembaga pendidikan tersebut. Sebagian pakar mengajukan konsep cooperative learning. Argumen yang diajukan berkenaan dengan konsep ini adalah masalah-masalah yang kita hadapi dewasa ini dan di masa depan sebenarnya bersifat saling berkaitan dan lebih tepat kalau dipandang sebagai jaringan-jaringan masalah yang kompleks. Dengan konsep belajar itu, setiap masalah akan didekati dengan pendekatan yang bersifat holistic dan integrated, mengingat masalah pendidikan bukanlah masalah yang bersifat hierarkis struktural, melainkan saling terkait dengan masalah lain secara horizontal. Kerja sama dunia pendidikan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, perusahaan, industri, yayasan dan lain sebagainya sangat diperlukan dalam rangka pembinaan dan peningkatan profesionalisme guru dalam mempersiapkan mutu lulusan yang mampu menciptakan kemajuan dalam dunia keilmuan Pendidikan seperti halnya kemajuan yang pernah dicapai oleh dunia keilmuan Pendidikan tempo dulu.
Kedua, Torstein Hussein dalam bukunya Learning Society, sebagaimana dikutip oleh Abudin Nata mengajukan konsep yang disebut sebagai “masyarakat belajar”. Menurut konsep ini, belajar di masa sekarang tidak dapat hanya dilakukan di ruang kelas, tetapi dengan cara mengintegrasikan seluruh sumber informasi yang ada di masyarakat ke dalam kegiatan belajar mengajar. Bahan-bahan informasi yang terdapat di berbagai media massa, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, komputer dan lain sebagainya harus didayagunakan untuk kepentingan proses pembelajaran. Melalui hal ini, guru akan mendapatkan suatu arahan, pembinaan mengenai hal-hal yang dapat meningkatkan keprofesionalannya dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan di mana ia bertugas, sehingga ia dapat dengan mudah menciptakan kualitas dan mutu peserta didiknya yang up to date dan sesuai dengan harapan masyarakat.
Ketiga, problematika dunia pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, menghendaki dunia pendidikan menata ulang berbagai aspek pendidikan yang selama ini dilakukan. Aspek-aspek pendidikan seperti dasar pendidikan, tujuan, kurikulum, metode dan pendekatan yang digunakan, sarana dan prasarana yang tersedia, lingkungan, evaluasi dan sebagainya perlu ditinjau ulang. Mengingat gurulah yang berada paling depan dalam kegiatan pendidikan, maka guru harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab akan tugas dan profesi yang diembannya dan jangan pernah menganggap profesinya itu sebagai kegiatan untuk mencari uang saja atau untuk hidup survive dalam waktu jangka pendek. Dalam diri guru harus ditanamkan sikap tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang diembannya dan guru harus memiliki sikap-sikap sebagai manusia yang berfikir rasional, dinamis, kreatif, inovatif, beroientasi pada produktivitas, bekerja secara profesional, berwawasan luas, berpikir jauh ke depan, menghargai waktu dan seterusnya. Selain itu, diperlukan penanaman kepribadian yang tangguh dan pembudayaan akhlaqul karimah dalam setiap perbuatan kesehariannya agar menjadi suri tauladan bagi peserta didiknya.
Disamping peran pemimpin dalam lembaga pendidikan, maka diperlukan pula political will atau kebijakan politis dari pemerintah dalam rangka menciptakan guru yang profesional, misalnya dengan memberikan penyuluhan, pelatihan, pemberian dana dalam upaya peningkatan profesionalitas guru agar supaya tercipta sosok guru yang profesional dan bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Tentunya dengan adanya kerja sama dari berbagai pihak tersebut, maka tantangan apapun yang berkaitan dengan upaya peningkatan profesionalisme guru dapat teratasi dengan mudah.[9]



F. Kompetensi Keilmuan Guru
                Kompetensi guru sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Keempat kompetensi tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut :
a.       Kompetensi pedagogik
           Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, sekurang-kurangnya meliputi, pemahaman wawasan atau landasan kependidikan,  pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum/silabus, perancangan pembelajaran,  pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, pemanfaatan teknologi pembelajaran,  evaluasi proses dan hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
b.      .Kompetensi kepribadian
            Kompetensi kepribadian selayaknya mempunyai sifat yang mencakup ,berakhlak mulia, arif dan bijaksana, mantap, berwibawa, stabil, dewasa, jujur, mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
c.       Kompetensi sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat, sekurang-kurangnya meliputi berkomunikasi lisan, tulisan, dan/atau isyarat, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional,bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua/wali peserta didik, bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku, dan menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan dan semangat kebersamaan.


d.       Kompetensi profesional
Kompetensi professional merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang sekurang-kurang meliputi penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang diampunya, konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang diampu.[10]




[3] Muhammad Nurdin, Kiat Menjadi Guru Profesional, (Jogyakarta: Ar-Ruzz  Media, 2010), hal. 19
[7] H. Djohar, MS, Guru , Pendidikan dan Pembinaannya, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2006), hal. 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar